Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perusahaan Oleokimia Ini Berhenti Produksi Setelah Kemendag Tetapkan Kebijakan DMO Kelapa Sawit 12 Maret 2022 - wong lor kozow


Ilustrasi minyak goreng Foto: Getty Images/iStockphoto/sergeyryzhov

wong lor kozow - Jakarta Kebijakan domestic market obligation (DMO) ditambah dengan domestic price obligation (DPO) minyak sawit membuat pabrik oleokimia ini berhenti berproduksi.


Salah satu perusahaan yang menjadi korban adalah PT Sumi Asih. Perusahaan yang bergerak di bidang oleokimia ini terpaksa menghentikan produksinya karena tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memasok minyak goreng sebanyak 20% dari produk yang diekspornya.


Karena tak bisa beroperasi, pabrik yang berlokasi di Tambun, Bekasi, Jawa Barat itu merumahkan 350 karyawannya.


Rinciannya adalah 300 karyawan yang bekerja di pabrik dan 50 karyawan di kantor pusat. Sudah tiga minggu mereka berada di rumah. Karena di-PHK, mereka menggelar aksi unjuk rasa, kata Direktur HRD dan Hukum PT Sumi Asih Markus Susanto dalam keterangannya, Jumat (12/3).


Markus Susanto menjelaskan, pabrik tersebut tidak menggunakan CPO sebagai bahan baku produksi, melainkan menggunakan stearin RBD untuk kemudian diolah menjadi asam stearat dan gliserin. RBD stearin adalah produk samping atau produk sampingan dari pabrik minyak goreng.


Diketahui, Permendag No 8 Tahun 2022 mewajibkan produsen oleokimia yang akan mengekspor produknya untuk melakukan DMO minyak goreng. Aturan ini tentu menyulitkan Sumi Asih yang tidak memproduksi minyak goreng.


Jadi aturan itu tidak mungkin kita lakukan. Saya bahkan memohon kepada pabrik minyak goreng untuk membeli minyak goreng yang akan kami gunakan untuk memenuhi kewajiban DMO kami, tetapi tidak ada yang mau memberikannya karena mereka sendiri juga membutuhkannya, kata Markus.


Padahal, kata Markus, jika Sumi Asih memenuhi kewajiban DMO, pihaknya harus membeli CPO atau olein dengan harga pasar saat ini Rp 20.500 per kilogram (kg). Kemudian pihaknya harus menjual minyak goreng dengan harga yang ditentukan pemerintah sebesar Rp. 10.300 per kg.


Jika dihitung dengan menerapkan DMO 20%, Sumi Asih setiap bulan akan menanggung defisit sekitar Rp. 6,3 miliar.


Angka itu berasal dari 30.000 ton produk asam stearat dan gliserin yang kami ekspor setiap bulannya dikalikan 20% yang berarti 600 ton. Jadi 600 ton dikalikan selisih yang harus kita keluarkan untuk bahan baku dan minyak goreng, Rp 9.700 per kg sama dengan Rp 6,3 miliar. Kalau sekarang DMO-nya 30%, berarti defisit kita hampir Rp 10 miliar dalam sebulan. Sementara margin kita tidak sebesar itu, katanya.


Menurut Markus, regulasi DMO tidak berdampak serius terhadap industri oleokimia terintegrasi. Misalnya industri dalam satu kelompok usaha juga memiliki perkebunan kelapa sawit, memiliki pabrik kelapa sawit (PKS) yang menghasilkan tandan buah segar (TBS) menjadi CPO, memiliki pabrik pengolahan minyak goreng, pabrik oleokimia hingga pabrik fatty alcohol, dan pabrik biodiesel.


Bagi mereka akan sangat mudah menerapkan aturan DMO, karena mereka memproduksi minyak goreng. Meski rugi menjual minyak goreng untuk DMO, dia bisa mendongkrak produk lain untuk ekspor, katanya.


Markus mengungkapkan, karena sudah tiga minggu tidak berproduksi, pihaknya juga belum bisa mengekspor. Kami sebagai orang Indonesia benar-benar malu, kredibilitas kami telah hancur di dunia internasional. Saya tidak bisa mengekspor selama sebulan sekarang. "Pembeli saya di China, Filipina dan di Eropa ingin menggugat di arbitrase," katanya.

Posting Komentar untuk "Perusahaan Oleokimia Ini Berhenti Produksi Setelah Kemendag Tetapkan Kebijakan DMO Kelapa Sawit 12 Maret 2022 - wong lor kozow"